Kendaraan listrik terus menjadi topik yang ramai diperbincangkan. Populix, perusahaan riset berbasis teknologi asal Indonesia, bersama Forum Wartawan Otomotif (Forwot), menggelar diskusi panel yang mengupas perkembangan, strategi, dan tantangan dalam percepatan adopsi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia. Diskusi itu menghadirkan pelaku industri dari berbagai lini, termasuk BYD Indonesia (kendaraan roda empat), ALVA (roda dua), dan National Battery Research Institute (NBRI).
Menurut Associate Head of Research for Automotive Populix Susan Adi Putra, Indonesia kini termasuk dalam kategori pasar EV berkembang (Emerging EV Markets). Namun, kemajuan ini masih dibayangi oleh sejumlah kendala yang menghambat penetrasi lebih luas ke masyarakat.
Hasil riset Populix menunjukkan bahwa keterbatasan bengkel yang melayani kendaraan listrik menjadi hambatan terbesar bagi konsumen. Meski kendaraan listrik sudah hadir lebih dari satu dekade, banyak bengkel belum memiliki kemampuan menangani perbaikan, bahkan untuk masalah non-elektrikal.
Head of CEO Office ALVA William Kusuma mengatakan bahwa perusahaannya telah bekerja sama dengan bengkel-bengkel di sekitar dealer mereka untuk menutup celah tersebut. “Setiap dealer ALVA didukung minimal empat bengkel servis EV. Saat ini, kami sudah memiliki 46 bengkel mitra di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Hambatan berikutnya adalah keterbatasan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Sebanyak 63% pengguna EV roda empat dan 29% pengguna roda dua mengandalkan SPKLU untuk mengisi daya karena pengisian di rumah masih dianggap kurang efisien.
Masalah ini diperparah oleh belum adanya standar pengisian daya antar merek kendaraan. Pendiri NBRI Prof. Dr. rer. nat. Evvy Kartini menekankan pentingnya standarisasi baterai dan sistem pengisian untuk mendorong interoperabilitas. “Saat ini, jenis baterai dan piranti pengisian sangat bergantung pada merek. Tanpa standar yang seragam, sulit bagi pengguna mengisi daya di SPKLU lintas merek,” jelasnya.
Selain interoperabilitas, Evvy juga menyoroti aspek keamanan baterai yang belum mendapat perhatian serius. Meskipun Standar Nasional Indonesia (SNI) 8872 terkait keamanan baterai telah diterbitkan sejak 2019, regulasi tersebut belum bersifat wajib. Ia menilai hal ini penting untuk melindungi konsumen di tengah meningkatnya penggunaan kendaraan listrik.
Susan Adi Putra menutup diskusi dengan harapan agar kolaborasi lintas sektor ini dapat memperkuat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. “Tujuan akhirnya adalah mendukung transisi dari bahan bakar fosil menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan,” pungkasnya. (*)