Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan peran strategis Indonesia dalam rantai pasok energi global. Termasuk di antaranya nikel, Indonesia diklaim menguasai 43 persen cadangan nikel dunia, menjadikannya pemain kunci dalam industri energi masa depan salah satunya juga pemanfaatan untuk ekosistem industri mobil listrik.
”Menurut data Badan Geologi Amerika, 43 persen cadangan nikel dunia berada di Indonesia,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam acara Human Capital Summit 2025, di Jakarta.
Dia menambahkan, sebagian kecil cadangan lainnya tersebar di negara seperti Australia, Filipina, dan Kanada. Posisi dominan ini, menurut dia, menjadi modal penting dalam mendorong hilirisasi sektor mineral yang kini gencar dilakukan pemerintah. Transformasi besar pun terjadi sejak ekspor bijih nikel mentah dihentikan. Bahlil mencatat bahwa pada tahun 2023, ekspor produk hilirisasi nikel Indonesia menembus USD34 miliar, melesat tajam dibandingkan periode 2017 ketika ekspor masih didominasi bahan mentah. “Begitu kita hentikan ekspor bijih nikel dan bangun industri, nilai ekspor langsung melonjak jadi 34 miliar dolar. Sekarang kita jadi eksportir terbesar produk turunan nikel,” tegasnya.
Bahlil juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan teknologi penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS). Dia juga menyebut bahwa cadangan CCS Indonesia sebagai salah satu yang terbesar di kawasan Asia Pasifik. ”Kita punya CCS terbesar di Asia Pasifik. Ini harta karun kita sebenarnya. Sumur-sumur minyak dan gas yang sudah tidak terpakai bisa digunakan untuk menyuntik karbon dioksida,” ujar Bahlil.
Menurut dia, keberadaan infrastruktur alam tersebut memberikan nilai strategis bagi Indonesia dalam menghadapi era transisi energi. Teknologi CCS kini menjadi sorotan global sebagai salah satu solusi untuk menekan emisi karbon dari industri berbasis energi fosil.
Bahlil menegaskan bahwa daya tarik Indonesia di mata investor internasional semakin kuat karena memiliki tiga keunggulan utama yang dibutuhkan industri global saat ini: ketersediaan bahan baku, sumber energi baru dan terbarukan (EBT), serta kapasitas CCS. ”Investor saat ini mencari negara yang punya semua itu, dan Indonesia memenuhi ketiganya,” urainya.
Bahlil juga mengaku akan mengevaluasi beberapa project yang sedang berjalan dan membutuhkan perhatian dari pemerintah. Seperti misalnya, dia menegaskan akan memanggil para pemegang izin tambang nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan di kawasan tersebut. ”Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta,” ujar Bahlil.
Menurut Bahlil, terdapat kearifan lokal masyarakat Raja Ampat yang belum diakomodasi secara maksimal dalam praktik tambang saat ini. Dia menilai pendekatan industri tambang di Papua harus memperhatikan sensitivitas sosial, budaya, dan geografis yang khas.
Selain itu, Bahlil mengungkapkan bahwa masyarakat Papua juga telah menyampaikan aspirasi agar pembangunan smelter dilakukan di wilayah mereka, bukan di luar daerah. ”Kami harus menghargai, karena Papua itu punya otonomi khusus, jadi perlakuannya juga harus khusus,” tegas Bahlil.
Selain itu, Bahlil juga menyatakan akan mengevaluasi secara menyeluruh insiden longsor di area tambang batu alam di Cirebon, Jawa Barat, termasuk aspek perizinannya. Evaluasi ini dilakukan sebagai respon atas potensi kelalaian dalam pengelolaan tambang. “Dengan kejadian seperti ini, tidak menutup kemungkinan kami pertimbangkan untuk melakukan evaluasi total,” ujar Bahlil.
Bahlil menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022, kewenangan penerbitan dan pengawasan izin usaha pertambangan (IUP) untuk komoditas batuan telah didelegasikan ke tingkat provinsi. Artinya, izin tersebut menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah melalui gubernur. ”Pihak yang memberikan izin dan mengawasi adalah gubernur,” tegasnya.
Namun, jika dalam proses evaluasi ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran dalam pelaksanaan izin, maka pemerintah pusat tidak menutup kemungkinan untuk menarik kembali kewenangan tersebut. ”Kalau kami melihat ada penyalahgunaan, maka izinnya tidak menutup kemungkinan untuk dikembalikan lagi ke pusat,” pungkas Bahlil.